Tugas Makalah Kel. 3: NU dan Aswaja


                         NU dan ASWAJA

BAB 1. PENGERTIAN dan SEJARAH NU

Sejarah NAHDLATUL ULAMA':
     Nahdlatul Ulama atau NU adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU didirikan pada 31 Januari 1926. Sejarah berdirinya NU tak lepas dari peran besar sejumlah ulama yakni KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri.
    NU berawal dari pesantren-pesantren yang banyak terdapat di Jawa Timur. Saat itu, kaum terpelajar menyadari butuh pendidikan dan organisasi yang kuat untuk bisa melawan penjajah.
     Pada 1916, lahir organisasi pergerakan untuk melawan penjajahan Belanda. Organisasi pergerakan ini dikenal dengan nama Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air. Organisasi ini diinisiasi oleh KH Wahab Chasbullah.
    Dua tahun berselang pada 1918, muncul organisasi yang bertujuan memberikan pendidikan sosial-politik kaum santri. Organisasi ini disebut dengan Taswirul Afkar atau lebih dikenal dengan Nahdlatul Fikri yang berarti Kebangkitan Pikiran. Organisasi ini terus berkembang ke beberapa kota di Indonesia.
    Pada 1918, muncul pula organisasi untuk pedagang yang diberi nama Nahdlatul Tujjar yang artinya Kebangkitan Saudagar. Pada 1926, para ulama melihat banyak masalah agama, mazhab, sosial, dan kebangsaan yang berkembang di masyarakat. KH Hasyim Asy'ari pun mendirikan Nahdlatul Ulama yang berarti Kebangkitan Ulama pada 1926. Kala itu, NU dipimpin oleh Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
    NU merupakan kelanjutan dari organisasi yang telah ada sebelumnya. Namun, NU memiliki cakupan yang menyeluruh dibandingkan organisasi-organisasi sebelumnya. Sejak saat itu, NU terus berkembang. NU memiliki peran besar dalam memajukan agama, sosial, dan politik di Indonesia. NU juga banyak mencetak ulama-ulama di Indonesia. Itulah sejarah berdirinya NU pada 31 Januari 1926.

Pengertian NAHDLATUL ULAMA':
    Nahdlatul 'Ulama secara etimologi mempunyai arti kebangkitan ulama atau bangkitnya para ulama. Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan sebagai tempat perhimpunan atau perkumpulan para ulama dan jama'ah ahlu sunnah wal jama'ah. Sedangkan menurut istilah Nahdlatul Ulama adalah jam'iyyah Diniyah yang memiliki faham Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M.
    Ahlussunah wal jamaah sendiri berasal dari tiga kata yaitu: 1. Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut, komunitas. 2. Sunnah yang artinya segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yakni semua yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, ucapan, dan pengakuan Nabi Muhammad SAW. 3. Al-Jamaah yang artinya apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian dari aswaja adalah golongan atau kelompok yang mengikuti perbuatan yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pada zaman pemerintahan khulafaur rasyidin.

BAB 2 : VISI, MISI, TUJUAN dan NILAI DASAR PERJUANGAN NAHDLATUL ULAMA'

VISI Nahdlatul Ulama’ : Maju dalam Presentasi, Santun dalam Pekerti. Terwujudnya generasi muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah, cerdas, berkarakter, mandiri dan berakhlaqul karimah.
MISI Nahdlatul Ulama’ :
-Membentuk pribadi muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah yang beriman dan bertaqwa.
-Membentuk generasi yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
-Membentuk pribadi berkarakter dan berakhlaqul karimah.
-Mengintensifkan pembelajaran intrakurikuler dan memiliki keunggulan di bidang akademik.
-Menggiatkan pembelajaran ekstrakurikuler dan meningkatkan prestasi nonakademik.
-Mampu mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan potensi akademik dan nonakademik.
-Mampu bersaing melanjutkan studi di perguruan tinggi.
-Mampu berkiprah dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
-Memiliki bekal kemampuan untuk terjun di dunia kerja.
Tujuan Nahdlatul Ulama’ didirikan yaitu berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah serta menurut pada salah satu dari keempat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana penjelasan diatas, maka NU hendaknya menjalankan usaha-usaha sebagai berikut:
1. Di sektor agama, NU harus berupaya melaksanakan ajaran Islam yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah dan menurut di salah satu madzhab dalam masyarakat.
2. Di sektor pendidikan, kebudayaan dan pengajaran, mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
3. Di sektor sosial, Nu setidaknya mengupayakan terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi penduduk Indonesia.
4. Di sektor ekonomi, NU setidaknya mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi.
5. Mengembangkan usaha-usaha yang bersifat positif dan juga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.
Nilai-nilai Dasar NU:
    Dalam organisasi NU menganut faham fikih dari empat madzhab (Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi), tauhid dari dua imam besar (Asy’ari dan Maturidi), sedangkan tasawuf dari Hujjatul Islam Al-Ghozali dan Junaid Al-Baghdadi. Secara hemat dapat dipastikan bahwa organisasi ini tidak terlepas dari ikatan Ahl-Sunnah Wal-Jama’ah.
    Organisasi NU memiliki ciri khas yang menjadikannya berbeda dari kelompok lain yang mengaku Ahl-Sunnah namun hanya sekedar ujar. Yaitu; Tawasut: Moderat (terlepas dari dua titik ekstrim); Tawazun: memakai pertimbangan tekstual (Al-Quran, Hadist) dan Nalar Akal; I’tidal: tegak Lurus Atau stabil.
    Tiga prinsip dasar ini diimplementasikan dalam perumusan masalah yang berkaitan dengan keyakinan, fikih, dan tasawuf.

BAB 3 : TOKOH-TOKOH PENDIRI NU

1. KH. Hasyim Asy'ari
    KH Hasyim Asy'ari lahir pada 14 Februari 1871 di Gedang, Jombang, Jawa Timur. Beliau adalah putra ketiga dari pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah.
Setelah mengenyam pendidikan di Jawa dan Mekkah, beliau kemudian mendirikan NU bersama beberapa tokoh Islam lainnya di Jawa Timur.
    Selain menjadi salah satu tokoh pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya melawan penjajahan terhadap Indonesia diterapkan melalui pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Tebuireng dianggapnya sebagai simbol perlawanan atas modernisasi dan industrialisasi penjajah yang memeras sumber daya rakyat. Bahkan KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa haram bagi rakyat Indonesia saat itu yang pergi haji dengan fasilitas dari Belanda.
    KH Hasyim Asy'ari merupakan ayah dari KH Wahid Hasyim yang merupakan salah satu pahlawan nasional yang merumuskan Piagam Jakarta. Selain itu, beliau adalah kakek dari Presiden Republik Indonesia ke-4, KH Abdurrahman Wahid. Beliau wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng.

2. KH Abdul Wahab Hasbullah
    KH Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu ulama yang juga berperan dalam mendirikan NU, selain KH Hasyim Asy'ari. KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan media massa atau surat kabar "Soeara Nahdlatul Oelama" dan "Berita Nahdlatul Ulama".
    Beliau lahir di Jombang pada 31 Maret 1888 dan tumbuh menjadi seorang ulama yang memiliki pandangan modern. Beliau adalah ulama yang memelopori kebebasan berpikir untuk kalangan umat Islam di Indonesia. Pemikiran itu beliau tuangkan dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar di Surabaya pada 1941.
    Seiring berjalannya waktu, kelompok diskusi ini berkembang dan sangat populer di kalangan pemuda dan bahkan menjadi ajang komunikasi dan tukar informasi antartokoh nasional.
     KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat di Jombang pada 29 Desember 1971. Beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 7 November 2014 oleh Presiden Joko Widodo bersama dengan Djamin Ginting, Sukarni Kartodiwirjo, dan HR Muhammad Mangundiprojo.

3. KH Bisri Syansuri 
       KH Bisri Syansuri lahir di Tayu, Pati, Jawa Tengah, pada 18 September 1886 dari pasangan Syansuri dan Mariah. KH Bisri Syansuri merupakan tokoh pergerakan yang bersama KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan kelompok diskusi Taswirul Afkar di Surabaya.
    Selain itu, beliau juga berperan aktif dalam musyawarah hukum islam yang sering berlangsung di lingkungan pondok pesantren hingga akhirnya membentuk NU. Di dalam NU, KH Bisri Syansuri berupaya mengembangkan rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.
     KH Bisri Syansuri wafat pada 25 April 1980 di usia 93 tahun. Makamnya terletak di kompleks Pesantren Denanyar, Jombang.

4. KH. Mas Alwi Abdul Aziz
    Sosok pemberi nama Nahdlatul Ulama (NU) adalah Sayid Alwi Abdul Aziz al-Zamadghon atau dikenal juga Habib Alwi Abdul Aziz Azmatkhan. Beliau lazim disebut Kiai Mas Alwi, putra kiai besar, Abdul Aziz al-Zamadghon.
    Kyai Mas Alwi Abdul adalah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama bersama Kyai Abdul Wahab asbullah dan Kyai Ridlwan Abdul dan lainnya, yang ketiganya bergerak secara aktif sejak NU belum didirikan. Disebutkan bahwa di awal-awal berdirinya NU yakni tahun 1926, usia Kyai Ridlwan 40 tahun, Kyai Wahab 37 tahun dan Kyai Mas Alwi 35 Tahun. Dengan demikian, Kyai Mas Alwi diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1890-an.
    Tidak ditemukan data pasti mengenai kapan wafatnya Kiai Mas Alwi. Namun di batu nisan makam tertulis bahwa Beliau wafat di 55 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman Rangkah, Surabaya. Berada di gang kecil seberang makam pahlawan Nasional pencipta lagu kebangsaan yaitu WR Supratman.

5. KH. Ridwan Abdullah
      Kiai Ridwan Abdullah merupakan sosok yang dikenal memiliki keterampilan dalam melukis. Kemampuannya dalam melukis, membuat Kiai Ridwan Abdullah menjadi sosok di balik lambang NU.
    Kiai Ridwan Abdullah lahir pada 1 Januari 1884 di Bubutan Surabaya, Jawa Timur. Beliau wafat pada 16 Februari 1962 diusianya yang ke-78. Kiai Ridwan Abdullah dimakamkan di pemakaman Tembok Surabaya.
    Sebelum berinisiatif membuat lambang NU, Kiai Ridwan Abdullah terlebih dahulu melakukan salat istikharah.Beliau meminta petunjuk kepada Allah SWT sebelum membuat lambang NU. Jawaban dari salat istikharah tersebut, datang lewat mimpi.
   Kiai Ridwan Abdullah bermimpi melihat gambar di langit yang biru dan jerih. Kemudian Kiai Ridwan Abdullah mewujudkan apa yang dilihatnya menjadi lambang NU yang kita kenal hingga saat ini.
    Menurut Kiai Ridwan Abdullah, apa yang dilihatnya dalam mimpi itu lah yang menjadi lambang NU sekarang. Mendengar penjelasan Kiai Ridwan Abdullah, KH Hasyim Asy'ari tentu lah sangat puas.
KH Hasyim Asy'ari lalu mengangkat kedua tangannya untuk memanjatkan doa.
     "Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud di lambang Nahdlatul Ulama," kata KH Hasyim Asy'ari ketika itu.

BAB 4 : BERAGAM PERAN NU

1. NU Mengeluarkan Resolusi Jihad
     Dalam Muktamar NU tanggal 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan ''Resolusi Jihad'' yang menyatakan bahwa perjuangannya untuk merdeka adalah Perang Suci (jihad).
      Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui kekuasaan suatu pemerintah Republik baru sesuai dengan Islam. Resolusi ini juga terbukti dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan konsesi diplomatik yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi Meja Bundar (1949).

2. NU dalam Tubuh Masyumi
      Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik, sehingga tanggal 7 November terbentuklah Masyumi. Sementara NU yang telah berdiri sebagai Jam'iyah kemudian bergabung dengan Masyumi pasca menyelenggarakan Muktamar NU XVI di Purwokerto tahun 1946.
     Menurut NU, politik dapat dijadikan media untuk memperluas peran Ulama'. Tokoh NU, Hasyim Asy'ari diangkat menjadi Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasehat Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan menteri sebagai wakil Masyumi, yakni Wahid Hasyim, Masykur, dan KH. Fathurrahman Kafrawi. Dan KH. Wahab Hasbullah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.

3. NU Sebagai Partai Politik
     Hubungan Masyumi dengan NU berubah pada tahun 1952, yang mana NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Kemudian NU dihadapkan pada kekurangan tenaga yang terampil. Untuk menghadapi hal ini, maka direkrutlah beberapa tokoh seperti H. Jamaluddin Malik, KH. Idham Chalid, dan beberapa tokoh lainnya. 
     NU juga membentuk sebuah fraksi tersendiri di parlemen yang beranggotakan 8 orang anggota NU, yakni: KH. A. Wahab Hasbullah, KH. M. Ilyas, M.Soleh Suryaningprojo, M. Ali Prataningkusumo, AA. Achsin, KH Idham Chalid, As. Bamid, Zainul Arifin (yang kemudian digantikan oleh Saefuddin Zuhri).
      Selanjutnya NU memainkan perannya dalam membentuk kabinet. Sebagai partai politik yang terbilang baru, NU berusaha memperkuat posisi umat Islam di parlemen dan kabinet.

4. NU Membentuk Liga Muslimin Indonesia
      NU merupakan persatuan yang bersifat federatif Dengan PSII, Perti dan juga Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) dalam wadah yg disebut Liga Muslimin Indonesia. Liga ini dibentuk tanggal 30 Agustus 1952 dengan tujuan untuk mencapai masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum Allah swt, dan sunnah Rasul.
     Namun demikian federasi ini tidak terlalu berpengaruh, sebab antara partai yang tergabung didalamnya seringkali berbeda pendapat dan menjalankan kepentingannya masing-masing.

5. NU dalam Pemilu 1955
    Dalam rangka mempersiapkan pemilu tahun 1955, NU mengadakan Muktamar Alim Ulama se Indonesia pada tanggal 11-15 April 1953 di Medan. Dalam muktamar tersebut ditetapkan wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mengambil bagian darI pemilu, baik untuk anggota DPR maupun Konstituante. Pada pemilu 1955, partai NU memperoleh 6.955.141 suara dan mendapat bagian 45 kursi di Parlemen.
     Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan pada 1952 yakni menggerakkan masyarakat tradisional untuk menyatakan aspirasi sosial dan keagamaannya sehingga Islam tradisional mampu mendapat tempat di tengah-tengah kehidupan berbangsa. Partai ini juga berhasil melembagakan peran ulama dalam sebuah negara melalui keberadaannya dalam parlemen dan keberhasilannya menguasai Departemen Agama.

6. Menumpas Gerakan 
        NU juga mengungkapkan bahwa gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang didukung oleh tokoh senior Masyumi harus segera ditumpas. Menurut NU, gerakan PRRI dianggap telah menyalahi perintah Alquran untuk mematuhi perintah Allah Swt, Nabi Muhammad saw, dan pemimpin mereka (Q.S. An-Nisaa’: 59).

7. Menerima UUD 1945 sebagai Konstitusi
      Majelis konstituante yang berhasil dibentuk dari pemilu tahun 1955 nyatanya belum mampu menghasilkan konstitusi baru untuk Indonesia. Oleh sebab itu terjadilah ketegangan antar fraksi di pemerintah. Melihat kondisi demikian, NU kemudian mengadakan sidang Dewan Partai di Cipanas, Bogor tanggal 26-28 Maret 1958. Pada pertemuan tersebut NU bersepakat untuk menerima UUD 1945 RI sebagai konstitusi dengan pengertian bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD tersebut.
     Keputusan NU ini disampaikan kepada pemerintah, kemudian pemerintah menyampaikannya kepada Majelis Konstituante pada tanggal 22 April 1959. Namun sayangnya sebagian besar anggota konstituante tidak hadir dalam sidang sehingga tidak bisa menghasilkan keputusan.
    Akhirnya dalam situasi yang dianggap gawat inilah lahir Dekrit 5 Juli 1959 yang mana salah satu isinya berbunyi, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu rangkaian dengan konstitusi tersebut”.

BAB 5: USAHA NU dalam MEMPERTAHANKAN dan MENGEMBANGKAN ASWAJA 
 
      Usaha-usaha yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan paham Ahlusunnah Wal Jamaah merupakan lanjutan dari usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh para ulama pesantren.
      Pertama kalinya, usaha Nahdlatul Ulama lebih banyak di arahkan pada penyelamatan pelaksanaan ajaran Imam Madzhab empat (madzahibuil arbaah) dan paham Ahlusunnah Wal Jamaah di tanah suci Makkah dan Madinah.
     Nahdlatul Ulama mengirim utusan untuk menghadap kepada Raja Abdul Azis bin Abdurrahman As Sa'ud menyampaikan surat Nahdlatul Ulama tanggal 5 Syawal 1346 H, yang berisi harapan dan permohonan kepada Raja Hijaz dan Nejed sebagai berikut :

1. Agar kekebebasan bermadzhab tetap diberlakukan di negeri Hijaz, dengan mengikuti salah satu dari madzhab empat. Karena itu, hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum'at di Masjidil Haram dan tidak ada larangan bagi masuknya kitab-kitab yang berdasarkan empat madzhab tersebut.
2. Agar tetap dilestarikannya tempat-tempat bersejarah yang sudah dikenal oleh masyarakat Islam.

       Permohonan tersebut memperoleh jawaban dari Raja Hijaz dan Nejed melalui surat resmi tertanggal 24 Dzulhijjah 1346 H. Isinya antara lain :

1. Sekalipun penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia) beraliran Wahabi, namun akan tetap bersikap adil serta melindungi ajaran madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali).
2. Pengajaran paham Ahlusunnah Wal Jama'ah tidak dilarang, karena sudah berlangsung di Masjidil Haram sejak dahulu.
3. Tidak ada larangan bagi para peziarah ke tempat-tempat bersejarah di sekitar Hijaz dan Nejed, terutama ke makam Nabi, makam Uhud, dan makam para sahabat dan Baqi'.

  Usaha Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan ajaran Ahlusunnah Wal Jama'ah juga dilakukan melalui kegiatan-kegiatan dakwah baik secara rutin, berkala (sewaktu-waktu), maupun pada peringatan-peringatan hari besar Islam. Pada kesempatan tersebut selalu diisi penjelasan tentang ajaran Ahlusunnah Wal Jama'ah baik di bidang aqidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak/tasawuf.
         Dalam lembaga pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama juga diberikan pelajaran agama sesuai paham Ahlusunah Wal Jamaah. Pelajaran aqidah-akhlak, dan fiqih yang diajarkan selalu berpedoman pada kitab-kitab yang disusun oleh para ulama Ahlusunnah Wal Jamaah.
     Tujuannya adalah agar para santri dan pelajar Nahdlatul Ulama selalu berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, yaitu ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Dengan demikian, ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah dapat dipahami dan diamalkan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari.














Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Materi: Proses Pelayanan ULC

Mau Kuliah jurusan Kesehatan Kenapa harus ke UNUSA?